Latest Post

Revisi UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN

Written By Berita_Rantau on Senin, 24 Oktober 2011 | 05.27

RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN …
TENTANG
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
 
Menimbang:
a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah;
b. bahwa untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan daerah yang efisien dan efektif, perlu diatur hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah;
c. bahwa hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan serta tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, sehingga perlu diganti;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, perlu ditetapkan Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
Mengingat :
Pasal 1 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 18A ayat (2), Pasal 18B ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 23, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
 
 Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH.
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah adalah suatu sistem pendanaan pemerintahan yang proporsional, transparan, akuntabel dan efisien dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pemberian kewenangan perpajakan dan retribusi dan pinjaman, pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, dengan memperhatikan kemampuan keuangan Negara, potensi, kondisi, dan kebutuhan pemerintahan daerah, yang sejalan dengan pembagian urusan serta tata cara penyelenggaraan urusan tersebut, termasuk pengaturan mengenai prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah.
2. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh kepala daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur pemerintahan daerah yang memimpin penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
5. Daerah Otonom, yang selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
6. Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah kabupaten atau walikota bagi daerah kota.
7. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat DPRD, adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
8. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa
- 3 -
barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
9. Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tersebut dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
10. Dekonsentrasi adalah pelimpahan urusan dari Pemerintah kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang melimpahkan.
11. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada kabupaten dan kota untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.
12. Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah.
13. Pengeluaran Daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah.
14. Pendapatan Daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.
15. Belanja Daerah adalah kewajiban Pemerintah Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
16. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.
17. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan Negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
18. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang selanjutnya disingkat APBD, adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD.
19. Pendapatan Asli Daerah, yang selanjutnya disingkat PAD, adalah Pendapatan Daerah yang bersumber dari pajak Daerah, retribusi Daerah, pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
20. Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
21. Dana Bagi Hasil, yang selanjutnya disingkat DBH, adalah dana yang bersumber dari pendapatan tertentu APBN yang dialokasikan kepada daerah penghasil berdasarkan angka persentase tertentu dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
- 4 -
22. DBH Pajak adalah dana bagi hasil yang bersumber dari pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan dan Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21.
23. Pajak Bumi dan Bangunan, yang selanjutnya disingkat PBB, adalah pajak yang dikenakan atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan di kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Bumi dan Bangunan.
24. Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri adalah Pajak Penghasilan terutang oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, kecuali pajak atas penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (8) Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan.
25. Pajak Penghasilan Pasal 21, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan.
26. Cukai Hasil Tembakau, yang selanjutnya disingkat CHT, adalah pungutan Negara yang dikenakan terhadap hasil tembakau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
27. DBH Sumber Daya Alam adalah dana bagi hasil yang bersumber dari penerimaan sumber daya alam kehutanan, pertambangan umum, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.
28. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan, yang selanjutnya disingkat IIUPH, adalah pungutan yang dikenakan kepada pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan atas suatu kawasan hutan tertentu yang dilakukan sekali pada saat izin tersebut diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
29. Provisi Sumber Daya Hutan, yang selanjutnya disingkat PSDH, adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
30. Dana Reboisasi adalah pungutan yang dikenakan kepada pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari hutan alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
- 5 -
31. Iuran Tetap adalah iuran yang diterima negara sebagai imbalan atas kesempatan penyelidikan umum, eksplorasi atau eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan umum dan pertambangan panas bumi.
32. Iuran Produksi adalah iuran yang dibayarkan kepada negara atas hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan umum dan pertambangan panas bumi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan umum dan pertambangan panas bumi.
33. Setoran Bagian Pemerintah adalah penerimaan negara dari pengusaha panas bumi atas dasar kontrak pengusahaan panas bumi yang ditandatangani sebelum Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi ditetapkan, setelah dikurangi dengan kewajiban perpajakan dan pungutan-pungutan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
34. Bagian Negara dari pertambangan minyak bumi dan gas bumi, yang selanjutnya disebut Bagian Negara, adalah penerimaan negara yang diperoleh dari pertambangan minyak bumi dan gas bumi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang minyak bumi dan gas bumi.
35. Dana Alokasi Umum, yang selanjutnya disingkat DAU, adalah dana yang bersumber dari Penerimaan Dalam Negeri APBN yang dialokasikan kepada Daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
36. Celah Fiskal adalah selisih antara kebutuhan fiskal daerah dan kapasitas fiskal daerah.
37. Dana Alokasi Khusus, yang selanjutnya disingkat DAK, adalah dana yang bersumber dari Penerimaan Dalam Negeri APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kegiatan khusus yang sudah menjadi urusan Daerah.
38. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
39. Obligasi Daerah adalah Pinjaman Daerah yang ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal domestik.
40. Dana Dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN untuk mendanai urusan Pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal
- 6 -
pusat di Daerah.
41. Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN untuk mendanai urusan Pemerintah yang ditugaskan kepada kabupaten dan kota.
42. Hibah kepada Daerah, yang selanjutnya disebut Hibah, adalah uang, barang dan/atau jasa yang diberikan kepada Daerah berdasarkan perjanjian antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dan tidak perlu dibayar kembali.
43. Dana Darurat adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada Daerah yang mengalami bencana.
44. Rencana Kerja Pemerintah Daerah, yang selanjutnya disingkat RKPD, adalah dokumen perencanaan daerah provinsi, kabupaten dan kota untuk periode 1 (satu) tahun.
45. Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disingkat Renja SKPD, adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 1 (satu) tahun.
46. Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disingkat RKA SKPD, adalah dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi program, kegiatan dan anggaran SKPD yang merupakan penjabaran dari RKPD dan rencana strategis SKPD yang bersangkutan dalam 1 (satu) tahun anggaran.
47. Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga/ SKPD.
48. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya membidangi urusan keuangan Negara.
BAB II
PRINSIP KEBIJAKAN HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAHAN DAERAH
Pasal 2
(1) Hubungan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan konsekuensi dari pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah.
(2) Pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diikuti dengan pembagian sumber-sumber keuangan Negara.
(3) Pembagian sumber-sumber keuangan Negara kepada Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi didasarkan atas penyerahan urusan oleh Pemerintah kepada Pemerintahan Daerah dengan memperhatikan stabilitas dan keseimbangan fiskal.
- 7 -
(4) Sumber-sumber keuangan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang menjadi sumber-sumber penerimaan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi mencakup:
a. pajak dan retribusi Daerah;
b. dana perimbangan;
c. dana otonomi khusus;
d. hibah;
e. dana darurat; dan
f. pinjaman.
(5) Pembagian sumber keuangan Negara kepada Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi didasarkan atas pelimpahan urusan oleh Pemerintah kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah dengan memperhatikan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan urusan dimaksud.
(6) Pembagian sumber keuangan Negara kepada Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan didasarkan atas penugasan oleh Pemerintah kepada kabupaten dan kota dengan memperhatikan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas dimaksud.
Pasal 3
(1) Pajak Daerah dan retribusi Daerah bertujuan memberikan kewenangan kepada Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan asas Desentralisasi.
(2) Dana Perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dan antar-Pemerintahan Daerah.
(3) Dana Otonomi Khusus bertujuan untuk menambah sumber pendanaan bagi daerah otonom khusus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Hibah merupakan sumber pendanaan bagi Daerah yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pinjaman yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi Daerah dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat serta untuk mendanai kegiatan tertentu.
(5) Dana Darurat bertujuan untuk membantu daerah mendanai kegiatan dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana.
(6) Pinjaman Daerah bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi Daerah dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 4
Prinsip pengaturan hubungan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dan Pasal 3 menjadi dasar dalam pengaturan:
a. perpajakan daerah dan retribusi daerah;
b. pengalokasian dana dari APBN ke APBD.
Pasal 5
(1) Pelimpahan urusan oleh Pemerintah kepada Gubernur diikuti dengan pendanaan dari APBN.
(2) Penugasan urusan oleh Pemerintah kepada Bupati/Walikota diikuti dengan pendanaan dari APBN.
Pasal 6
Pengelolaan keuangan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi mengikuti prinsip-prinsip pengelolaan Keuangan Negara.
 
BAB III
PENDANAAN PEMERINTAHAN DAERAH
Pasal 7
(1) Penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi didanai APBD.
(2) Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dilaksanakan gubernur dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi didanai APBN.
(3) Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dilaksanakan kabupaten dan kota dalam rangka Tugas Pembantuan didanai APBN.
Pasal 8
(1) Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan dilarang digunakan untuk mendanai program atau kegiatan yang menjadi urusan Daerah.
(2) Pemerintah Daerah dilarang mendanai program atau kegiatan yang menjadi urusan Pemerintah, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 9
(1) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dikenakan sanksi berupa pengurangan/pemotongan anggaran kementerian/lembaga yang bersangkutan.
(2) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dikenakan sanksi berupa pemotongan Dana Perimbangan Daerah yang bersangkutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
- 9 -
BAB IV
PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH
Pasal 10
Daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak Daerah dan retribusi Daerah dalam rangka melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan Daerah.
Pasal 11
Dalam memungut pajak Daerah dan retribusi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Daerah dilarang:
a. menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi; dan
b. menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah, dan kegiatan impor/ekspor.
Pasal 12
Ketentuan mengenai pajak Daerah dan retribusi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a dan huruf b diatur dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang.
BAB V
DANA PERIMBANGAN
Bagian Kesatu
Jenis Dana Perimbangan
Pasal 13
(1) Dana Perimbangan terdiri atas:
a. DBH;
b. DAU; dan
c. DAK.
(2) Besarnya Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun dalam Undang-Undang tentang APBN.
Bagian Kedua
Dana Bagi Hasil
Pasal 14
(1) DBH bersumber dari:
a. Pajak;
b. Cukai; dan
c. Sumber Daya Alam.
(2) DBH Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas:
- 10 -
a. PBB;
b. PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.
(3) DBH Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, adalah cukai hasil tembakau.
(4) DBH Sumber Daya Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas:
a. kehutanan;
b. pertambangan umum;
c. pertambangan minyak bumi;
d. pertambangan gas bumi; dan
e. pertambangan panas bumi.
Paragraf Kesatu
DBH Pajak
Pasal 15
(1) DBH Pajak yang bersumber dari PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf a, yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan ditetapkan sebesar 90% (sembilan puluh persen) dengan rincian:
a. 18% (delapan belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b. 72% (tujuh puluh dua persen) untuk kabupaten dan kota yang bersangkutan.
(2) DBH PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersumber dari PBB sektor pertambangan yang diperoleh dari wilayah laut yang menjadi kewenangan kabupaten/kota, dibagi dengan rincian:
a. 18% (delapan belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b. 72% (tujuh puluh dua persen) untuk kabupaten/kota yang bersangkutan.
(3) DBH PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersumber dari PBB sektor pertambangan yang diperoleh dari wilayah laut yang menjadi kewenangan provinsi dibagi dengan rincian:
a. 18% (delapan belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b. 72% (tujuh puluh dua persen) untuk seluruh kabupaten dan kota di provinsi yang bersangkutan dengan porsi yang sama besar.
(4) Khusus untuk penerimaan PBB yang bersumber dari PBB sektor pertambangan yang diperoleh dari wilayah laut yang menjadi kewenangan Pemerintah tidak dibagihasilkan kepada Daerah.
(5) Wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) didasarkan atas ketentuan peraturan perundang-undangan.
- 11 -
Pasal 16
(1) DBH Pajak yang bersumber dari PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf b, ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen) dengan rincian:
a. 8% (delapan persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b. 12% (dua belas persen) untuk kabupaten/kota yang bersangkutan.
(2) Pembagian kepada provinsi, kabupaten, dan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada wilayah Daerah tempat tinggal wajib pajak, tempat kegiatan usaha, dan/atau tempat bekerja.
Paragraf Kedua
DBH Cukai
Pasal 17
(1) DBH Cukai yang bersumber dari CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) ditetapkan sebesar 2% (dua persen) dengan rincian:
a. 0,4% (nol koma empat persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b. 0,8% (nol koma delapan persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan
c. 0,8% (nol koma delapan persen) untuk kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
(2) Pembagian untuk provinsi, kabupaten, dan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, didasarkan pada kontribusi Daerah yang bersangkutan terhadap penerimaan CHT dan/atau produksi tembakau.
Paragraf Ketiga
DBH Sumber Daya Alam
Pasal 18
(1) DBH Sumber Daya Alam kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) huruf a berasal dari:
a. IIUPH;
b. PSDH; dan
c. Dana Reboisasi.
(2) DBH Sumber Daya Alam kehutanan yang bersumber dari IIUPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) untuk kabupaten/kota penghasil.
(3) DBH Sumber Daya Alam kehutanan yang bersumber dari PSDH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan, ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) dengan rincian:
a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
- 12 -
b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan
c. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
(4) DBH Sumber Daya Alam kehutanan yang bersumber dari Dana Reboisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen) untuk kabupaten/kota penghasil.
(5) DBH Sumber Daya Alam kehutanan yang bersumber dari Dana Reboisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.
Pasal 19
(1) DBH Sumber Daya Alam pertambangan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) huruf b, berasal dari:
a. Penerimaan Iuran Tetap; dan
b. Penerimaan Iuran Produksi.
(2) DBH Sumber Daya Alam pertambangan umum yang bersumber dari Iuran Tetap, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) untuk kabupaten/kota penghasil.
(3) DBH Sumber Daya Alam pertambangan umum yang bersumber dari Iuran Tetap sebesar 80% (delapan puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang diperoleh dari wilayah laut yang menjadi kewenangan provinsi, seluruhnya dialokasikan untuk provinsi yang bersangkutan.
(4) DBH Sumber Daya Alam pertambangan umum yang bersumber dari Iuran Produksi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) dengan rincian:
a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten dan kota penghasil; dan
c. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
(5) DBH Sumber Daya Alam pertambangan umum yang bersumber dari Iuran Produksi sebesar 80% (delapan puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang diperoleh dari wilayah laut yang menjadi kewenangan provinsi dibagi dengan rincian:
a. 26% (dua puluh enam persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan
b. 54% (lima puluh empat persen) untuk kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
Pasal 20
(1) DBH Sumber Daya Alam pertambangan minyak bumi sebagaimana
- 13 -
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) huruf c, berasal dari Bagian Negara yang diperoleh dari pengusahaan pertambangan minyak bumi setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) DBH Sumber Daya Alam pertambangan minyak bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan, ditetapkan sebesar 15,5% (lima belas koma lima persen) dengan rincian:
a. 3% (tiga persen) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan;
b. 6,25% (enam koma dua lima persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan
c. 6,25% (enam koma dua lima persen) untuk kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
(3) DBH Sumber Daya Alam pertambangan minyak bumi sebesar 15,5% (lima belas koma lima persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diperoleh dari wilayah laut yang menjadi kewenangan provinsi dibagi dengan rincian:
a. 5% (lima persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan
b. 10,5% (sepuluh koma lima persen) untuk kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
Pasal 21
(1) DBH Sumber Daya Alam pertambangan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) huruf d, berasal dari Bagian Negara yang diperoleh dari pengusahaan pertambangan gas bumi setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) DBH Sumber Daya Alam pertambangan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan, ditetapkan sebesar 30,5% (tiga puluh koma lima persen) dengan rincian:
a. 6% (enam persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b. 12,25% (dua belas koma dua lima persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan
c. 12,25% (dua belas koma dua lima persen) untuk kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
(3) DBH Sumber Daya Alam pertambangan gas bumi sebesar 30,5% (tiga puluh koma lima persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diperoleh dari wilayah laut yang menjadi kewenangan provinsi dibagi dengan rincian:
a. 10% (sepuluh persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan
b. 20,5% (dua puluh koma lima persen) dibagikan untuk kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
- 14 -
Pasal 22
Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf b dan huruf c sebesar 0,25% (nol koma dua lima persen), Pasal 20 ayat (3) huruf b sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dan Pasal 21 ayat (2) huruf b dan huruf c sebesar 0,25% (nol koma dua lima persen), Pasal 21 ayat (3) huruf b sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar.
Pasal 23
(1) DBH Sumber Daya Alam pertambangan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) huruf e, berasal dari:
a. Setoran Bagian Pemerintah;
b. Iuran Tetap; dan
c. Iuran Produksi.
(2) DBH Sumber Daya Alam yang berasal dari pertambangan panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan, ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) dengan rincian:
a. 10% (sepuluh persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b. 35% (tiga puluh lima persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan
c. 35% (tiga puluh lima persen) untuk kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
Pasal 24
(1) Gubernur menetapkan bobot pembagian DBH:
a. CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf c;
b. Sumber Daya Alam kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf c;
c. Sumber Daya Alam pertambangan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4) huruf c dan dalam Pasal 19 ayat (5) huruf b;
d. Sumber Daya Alam pertambangan minyak bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf c dan Pasal 20 ayat (3) huruf b;
e. Sumber Daya Alam pertambangan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf c dan Pasal 21 ayat (3) huruf b; dan
f. Sumber Daya Alam pertambangan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c;
untuk masing-masing kabupaten dan kota.
(2) Bobot pembagian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan, antara lain, dengan mempertimbangkan jumlah penduduk dan luas wilayah.
- 15 -
(3) Formula dan data yang digunakan dalam menetapkan bobot pembagian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan gubernur.
(4) Peraturan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Menteri paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum dimulainya tahun anggaran.
(5) Bobot pembagian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), digunakan oleh Menteri untuk menetapkan besaran alokasi untuk masing-masing kabupaten dan kota.
(6) Dalam hal bobot pembagian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak disampaikan sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri menetapkan besaran alokasi untuk masing-masing kabupaten dan kota dengan porsi yang sama besar.
Paragraf Keempat
Penetapan Alokasi Dana Bagi Hasil
Pasal 25
Menteri menetapkan alokasi sementara DBH Pajak dan DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.
Pasal 26
(1) Menteri teknis menetapkan daerah penghasil dan rencana penerimaan negara dari sumber daya alam per daerah sebagai dasar alokasi DBH Sumber Daya Alam paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan.
(2) Dalam hal sumber daya alam berada pada wilayah yang berbatasan atau berada pada lebih dari satu daerah, menteri teknis menetapkan daerah penghasil sumber daya alam berdasarkan pertimbangan Menteri Dalam Negeri paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah diterimanya usulan pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri.
(3) Daerah penghasil dan rencana penerimaan negara dari sumber daya alam per daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri Keuangan.
Pasal 27
(1) Menteri dan menteri teknis menetapkan prognosa realisasi penerimaan pajak, CHT, dan sumber daya alam per Daerah paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya tahun anggaran berjalan.
(2) Menteri teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan prognosa realisasi penerimaan sumber daya alam kepada Menteri paling lambat 2 (dua) bulan sebelum berakhirnya tahun anggaran berjalan.
- 16 -
(3) Menteri menetapkan prognosa realisasi DBH untuk masing-masing Daerah paling lambat 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya tahun anggaran berjalan.
Paragraf Kelima
Penyaluran Dana Bagi Hasil
Pasal 28
Penyaluran DBH dilaksanakan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah.
Pasal 29
(1) Penyaluran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dilaksanakan per triwulan.
(2) Penyaluran triwulan kesatu, kedua dan ketiga dilakukan untuk masing-masing:
a. DBH Pajak dan DBH CHT sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari alokasi sementara DBH Pajak dan DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
b. DBH Sumber Daya Alam sebesar 20% (dua puluh persen) dari alokasi sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3).
(3) Penyaluran untuk triwulan keempat dilakukan berdasarkan prognosa realisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dengan memperhitungkan penyaluran 3 (tiga) triwulan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal jumlah penyaluran triwulan kesatu, kedua, dan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melebihi prognosa realisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, kelebihan penyaluran tersebut diperhitungkan dengan penyaluran tahun anggaran berikutnya atau dana perimbangan lainnya pada tahun anggaran berjalan atau tahun anggaran berikutnya.
Pasal 30
Dalam hal terdapat selisih kurang antara prognosa realisasi dengan realisasi pada akhir tahun, selisih kurang dimaksud diperhitungkan pada tahun anggaran berikutnya.
Bagian Ketiga
Dana Alokasi Umum
Pasal 31
(1) DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN.
(2) Pendapatan Dalam Negeri Neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan negara yang berasal dari pajak dan bukan pajak setelah dikurangi
- 17 -
dengan DBH.
(3) DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan untuk:
a. Provinsi sebesar 10% (sepuluh persen); dan
b. Kabupaten dan kota sebesar 90% (sembilan puluh persen).
(4) Proporsi DAU untuk provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diubah sesuai dengan perubahan urusan antara provinsi dan kabupaten/kota, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Perubahan proporsi DAU untuk provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN.
Pasal 32
(1) DAU suatu Daerah dialokasikan atas dasar Celah Fiskal.
(2) Celah Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sebagai selisih antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal Daerah.
(3) Kebutuhan fiskal Daerah merupakan kebutuhan pendanaan Daerah untuk melaksanakan urusan yang menjadi tanggung jawab daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Kebutuhan pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipengaruhi oleh jumlah penduduk, luas wilayah daratan dan perairan, Indeks Pembangunan Manusia, dan kondisi geografis Daerah yang dicerminkan oleh Indeks Kemahalan Konstruksi.
(5) Kapasitas fiskal Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penjumlahan dari PAD dan DBH.
Pasal 33
(1) Kebutuhan fiskal suatu Daerah dihitung sebagai hasil perkalian rata-rata belanja Daerah secara nasional dengan jumlah perkalian bobot-bobot variabel indeks jumlah penduduk, indeks luas wilayah, indeks pembangunan manusia dan indeks kemahalan konstruksi.
(2) Rata-rata belanja Daerah secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan membagi total belanja Daerah dengan jumlah Daerah.
(3) Bobot variabel indeks jumlah penduduk, variabel indeks luas wilayah, variabel indeks pembangunan manusia dan varibel indeks kemahalan konstruksi ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN.
(4) Indeks jumlah penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan membagi jumlah penduduk suatu Daerah dengan rata-rata jumlah penduduk secara nasional.
- 18 -
(5) Indeks luas wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan membagi luas wilayah suatu Daerah dengan rata-rata luas wilayah secara nasional.
(6) Indeks pembangunan manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan membagi celah indeks pembangunan manusia suatu Daerah dengan rata-rata celah indeks pembangunan manusia secara nasional.
(7) Indeks Kemahalan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan membagi indeks kemahalan konstruksi suatu Daerah dengan rata-rata indeks kemahalan konstruksi secara nasional.
Pasal 34
(1) DAU suatu provinsi dihitung berdasarkan perkalian bobot provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh provinsi.
(2) Bobot provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan membagi Celah Fiskal provinsi yang bersangkutan dengan total Celah Fiskal seluruh provinsi.
Pasal 35
(1) DAU untuk suatu kabupaten/kota dihitung berdasarkan perkalian bobot kabupaten/kota yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh kabupaten dan kota.
(2) Bobot kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan membagi Celah Fiskal kabupaten/kota yang bersangkutan dengan total Celah Fiskal seluruh kabupaten dan kota.
Pasal 36
Bobot masing-masing provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan bobot masing-masing kabupaten dan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun sepanjang tidak ada penambahan Daerah baru.
Pasal 37
(1) Dalam hal alokasi DAU suatu Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan Pasal 35 mengalami penurunan dari alokasi DAU pada tahun terakhir sebelum diberlakukannya Undang-Undang ini, maka Daerah yang bersangkutan diberikan DAU sebesar DAU tahun terakhir.
(2) Pengalokasian DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak diberlakukannya formula penghitungan DAU berdasarkan Undang-Undang ini.
(3) Pengalokasian DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tidak mengurangi alokasi DAU kepada Daerah lain.
- 19 -
Paragraf Kesatu
Mekanisme Pengalokasian
Pasal 38
(1) Pemerintah menetapkan kebijakan DAU dalam nota keuangan dan rancangan APBN tahun anggaran berikutnya, yang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Kebijakan DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibahas terlebih dahulu dalam forum Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah sebelum penyampaian nota keuangan dan rancangan APBN ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Paragraf Kedua
Penetapan Alokasi
Pasal 39
(1) Menteri menetapkan alokasi DAU untuk masing-masing Daerah paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan.
(2) Ketetapan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup informasi alokasi masing-masing Daerah, dasar penghitungan alokasi DAU dan sumber data yang digunakan.
Paragraf Ketiga
Penyaluran
Pasal 40
(1) DAU disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah.
(2) Penyaluran DAU untuk masing-masing Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dilaksanakan setiap bulan masing-masing sebesar 1/12 (satu perdua belas) dari DAU Daerah yang bersangkutan.
(3) Penyaluran DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sebelum bulan bersangkutan.
Bagian Keempat
Dana Alokasi Khusus
Pasal 41
(1) DAK dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah.
(2) Kegiatan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. kegiatan dalam rangka mendorong pencapaian Standar Pelayanan Minimum pelayanan dasar pendidikan, kesehatan, dan/atau infrastruktur jalan, jembatan, sanitasi, irigasi, dan air minum;
b. kegiatan dalam rangka pencapaian prioritas nasional; dan
c. kegiatan dalam rangka kebijakan tertentu yang ditetapkan dalam
- 20 -
peraturan perundang-undangan.
(3) Kegiatan dalam rangka pencapaian prioritas nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri dari:
a. prioritas nasional berdasarkan sektor/bidang; dan
b. prioritas nasional berdasarkan kewilayahan.
Pasal 42
DAK diprioritaskan untuk mendanai kegiatan dalam rangka pencapaian Standar Pelayanan Minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a.
Pasal 43
(1) Daerah yang mendapatkan alokasi DAK untuk mendanai kegiatan dalam pemenuhan Standar Pelayanan Minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a adalah:
a. Daerah dengan kemampuan keuangan rendah dan sedang; dan
b. Daerah yang belum mencapai Standar Pelayanan Minimum pelayanan dasar pendidikan, kesehatan, dan/atau infrastruktur jalan, jembatan, sanitasi, irigasi, dan air minum.
(2) Penentuan Daerah yang belum mencapai Standar Pelayanan Minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan oleh menteri teknis yang membidangi pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur jalan, jembatan, sanitasi, irigasi, dan air minum.
Pasal 44
(1) Kemampuan keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf a, dihitung dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah.
(2) Penerimaan umum APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah dari PAD, DAU dan DBH.
(3) Kemampuan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam bentuk indeks.
(4) Indeks kemampuan keuangan suatu daerah (IKKD) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung dengan membagi kemampuan keuangan Daerah yang bersangkutan dengan rata-rata kemampuan keuangan Daerah secara nasional dan ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 45
(1) Tingkat pencapaian Standar Pelayanan Minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dihitung dengan membandingkan capaian pelayanan dengan Standar Pelayanan Minimum yang ditetapkan.
(2) Hasil perhitungan tingkat pencapaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam bentuk indeks pencapaian Standar Pelayanan Minimum.
- 21 -
Pasal 46
(1) Daerah yang mendapat DAK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a, adalah Daerah dengan IKKD di bawah rata-rata nasional dan indeks pencapaian Standar Pelayanan Minimum di bawah Standar Pelayanan Minimum yang ditetapkan.
(2) Daerah yang mendapatkan alokasi DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing bidang ditetapkan untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun.
Pasal 47
(1) Alokasi DAK per tahun suatu Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) dihitung sebagai perkalian bobot Daerah yang bersangkutan dengan pagu alokasi DAK nasional per bidang.
(2) Bobot Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan membagi penjumlahan IKKD dan indeks pencapaian Standar Pelayanan Minimum Daerah yang bersangkutan dengan total IKKD dan total indeks pencapaian Standar Pelayanan Minimum seluruh Daerah.
Pasal 48
(1) Daerah yang mendapatkan alokasi DAK untuk mendanai kegiatan prioritas nasional berdasarkan sektor/bidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf a, ditetapkan berdasarkan:
a. kemampuan keuangan Daerah; dan
b. kriteria teknis.
(2) Daerah yang mendapatkan alokasi DAK untuk mendanai kegiatan prioritas nasional berdasarkan kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf b, ditetapkan berdasarkan kriteria teknis.
(3) Kriteria teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan menggunakan indikator-indikator khusus dalam bentuk indeks teknis.
Pasal 49
(1) Alokasi DAK suatu Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dihitung sebagai perkalian bobot Daerah yang bersangkutan dengan pagu alokasi DAK nasional per bidang.
(2) Bobot Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan membagi penjumlahan IKKD dan indeks teknis Daerah yang bersangkutan dengan total IKKD dan indeks teknis seluruh Daerah.
(3) Alokasi DAK suatu Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) dihitung sebagai perkalian bobot Daerah yang bersangkutan dengan pagu alokasi DAK nasional per bidang.
- 22 -
(4) Bobot Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung dengan membagi indeks teknis Daerah yang bersangkutan dengan indeks teknis seluruh Daerah.
Pasal 50
(1) Kebijakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf c, antara lain:
a. pencapaian wajib belajar 9 (sembilan) tahun;
b. peningkatan profesionalisme guru;
c. pemberian insentif.
(2) Pengalokasian DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b, untuk Daerah ditetapkan berdasarkan biaya per unit yang mencerminkan kebutuhan dana.
(3) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, diukur berdasarkan antara lain rasio pajak, rasio belanja pegawai dan rasio belanja modal.
(4) Dana insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, digunakan untuk peningkatan kualitas pelayanan bidang pendidikan dan/atau pembangunan infrastruktur dasar.
(5) Dalam hal terdapat DAK dalam rangka kebijakan tertentu selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengalokasian DAK tersebut dihitung dengan kriteria dan indikator yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN.
(6) Besaran alokasi DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan berdasarkan biaya per unit kegiatan.
Pasal 51
(1) Daerah penerima DAK prioritas nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf b, wajib menganggarkan dana pendamping dalam APBD sekurang-kurangnya 5% (lima persen) dari besaran alokasi DAK yang diterima.
(2) Besarnya dana pendamping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibedakan berdasarkan indeks kemampuan keuangan daerah.
(3) Indeks kemampuan keuangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelompokan dalam skala tertentu.
(4) Skala indeks dan besarnya dana pendamping untuk masing-masing skala indeks dimaksud ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 52
DAK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) dapat digunakan untuk mendanai kegiatan yang bersifat fisik dan non fisik.
- 23 -
Paragraf Kesatu
Mekanisme Pengalokasian
Pasal 53
(1) Menteri teknis menetapkan indeks pencapaian Standar Pelayanan Minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dan indeks teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3) per bidang.
(2) Indeks sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri paling lambat bulan Juni setiap tahun.
(3) Ketetapan indeks sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga memuat indikator-indikator yang digunakan dan cara menghitung indeks teknis serta sumber data yang digunakan.
Pasal 54
(1) Menteri teknis/pimpinan lembaga mengusulkan kegiatan khusus kepada Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan Menteri.
(2) Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas mengkoordinasikan usulan kegiatan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Dalam Negeri, Menteri dan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk ditetapkan dalam Rencana Kerja Pemerintah sebagai kegiatan khusus yang akan didanai dana alokasi khusus.
(3) Usulan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencantumkan target dan sasaran penuntasan kegiatan yang akan didanai dari DAK.
(4) Berdasarkan usulan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri mengalokasikan DAK dengan memperhatikan kemampuan Keuangan Negara dan kesesuaian dengan rencana kerja Pemerintah tahun anggaran bersangkutan.
Pasal 55
(1) Pemerintah menetapkan kebijakan DAK dalam nota keuangan RAPBN tahun anggaran berikutnya, yang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Kebijakan DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibahas dalam forum Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah sebelum penyampaian nota keuangan ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Paragraf Kedua
Penetapan Alokasi
Pasal 56
(1) Menteri menetapkan alokasi DAK untuk masing-masing provinsi, kabupaten dan kota paling lambat 2 (dua) minggu setelah Undang-Undang APBN ditetapkan.
- 24 -
(2) Ketetapan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup informasi alokasi masing-masing Daerah, dasar penghitungan alokasi DAK dan sumber data yang digunakan.
Pasal 57
(1) Menteri/pimpinan lembaga teknis menetapkan pedoman umum penggunaan DAK untuk pencapaian Standar Pelayanan Minimum dan prioritas nasional sebagai dasar pelaksanaan kegiatan DAK di Daerah.
(2) Pedoman umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-Undang ini ditetapkan.
(3) Pedoman umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disesuaikan setiap 2 (dua) tahun sekali.
Paragraf Ketiga
Penyaluran
Pasal 58
(1) DAK disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah.
(2) DAK untuk pencapaian SPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a, DAK untuk prioritas nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf b dan DAK untuk insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf c disalurkan secara bertahap sesuai dengan laporan realisasi penyerapan dana tahap sebelumnya.
(3) Dalam hal penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilaksanakan sampai dengan berakhirnya tahun anggaran karena tidak adanya laporan realisasi penyerapan dana, sisa alokasi DAK yang belum dicairkan tidak dapat disalurkan.
(4) DAK untuk kebijakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf a dan huruf b dan ayat (5), disalurkan per triwulan.
Paragraf Keempat
Pemantauan, Evaluasi, Pelaporan dan Sanksi
Pasal 59
Menteri teknis melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pemanfaatan dan teknis pelaksanaan kegiatan yang didanai dari DAK.
Pasal 60
(1) Kepala Daerah menyampaikan laporan teknis pelaksanaan DAK setiap semester kepada menteri teknis.
(2) Dalam hal Kepala Daerah tidak menyampaikan laporan teknis pelaksanaan DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri teknis mengusulkan kepada Menteri untuk:
- 25 -
a. menunda penyaluran DAK pada tahap berikutnya; dan
b. tidak mengalokasikan DAK tahun anggaran berikutnya.
Pasal 61
Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan, penetapan bidang, pengalokasian, pelaporan dan sanksi serta pemantauan dan evaluasi DAK diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 62
(1) Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) untuk Daerah baru, mulai dialokasikan secara mandiri pada tahun ketiga sejak Undang-Undang pembentukannya diundangkan.
(2) Selama jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang pembentukannya diundangkan, Dana Perimbangan untuk Daerah baru diperhitungkan secara proporsional dari alokasi Dana Perimbangan Daerah Induk.
(3) Proporsi Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dihitung berdasarkan jumlah penduduk dan luas wilayah.
Pasal 63
Tata cara penyaluran Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
BAB VI
DANA OTONOMI KHUSUS
Bagian Kesatu
Jenis
Pasal 64
(1) Dana Otonomi Khusus dialokasikan kepada Daerah yang memiliki otonomi khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Jenis Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur berdasarkan Undang-Undang otonomi khusus.
(3) Besaran alokasi Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan Menteri.
Bagian Kedua
Penyaluran
Pasal 65
(1) Penyaluran Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dilaksanakan secara bertahap dengan rincian sebagai berikut:
a. tahap I pada bulan Maret sebesar 30% (tiga puluh persen) dari alokasi;
b. tahap II pada bulan Juli sebesar 45% (empat puluh lima persen) dari alokasi; dan
- 26 -
c. tahap III pada bulan Oktober sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari alokasi.
(2) Penyaluran dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah mendapatkan pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri.
BAB VII
PINJAMAN DAERAH
Bagian Kesatu
Batasan Pinjaman
Pasal 66
(1) Pemerintah menetapkan batas maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan keadaan dan prakiraan perkembangan perekonomian nasional.
(2) Batas maksimal kumulatif pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak melebihi 60% (enam puluh persen) dari Produk Domestik Bruto tahun bersangkutan.
(3) Menteri menetapkan batas maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah Daerah secara keseluruhan selambat-lambatnya bulan Agustus untuk tahun anggaran berikutnya.
Pasal 67
(1) Pemerintah Daerah dapat melakukan pinjaman untuk membiayai sebagian anggarannya.
(2) Pemerintah Daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri.
(3) Pinjaman kepada pihak luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui Pemerintah.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenakan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan atas penyaluran Dana Perimbangan oleh Menteri.
Bagian Kedua
Sumber, Jenis dan Penggunaan Pinjaman
Pasal 68
(1) Pinjaman Daerah bersumber dari:
a. Pemerintah;
b. Pemerintah Daerah lain;
c. lembaga keuangan bank;
d. lembaga keuangan bukan bank; dan
e. masyarakat.
- 27 -
(2) Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan melalui Menteri.
(3) Pinjaman Daerah yang bersumber dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, berupa Obligasi Daerah yang diterbitkan melalui pasar modal domestik.
Pasal 69
(1) Jenis Pinjaman terdiri atas:
a. pinjaman jangka pendek; dan
b. pinjaman jangka panjang.
(2) Pinjaman jangka pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu kurang atau sama dengan 1 (satu) tahun anggaran dengan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan/atau kewajiban lainnya seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran yang berkenaan.
(3) Pinjaman jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun anggaran dengan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi pada tahun-tahun anggaran berikutnya sesuai dengan persyaratan perjanjian pinjaman yang bersangkutan.
Pasal 70
(1) Pinjaman jangka pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a, dipergunakan hanya untuk menutup kekurangan arus kas.
(2) Pinjaman jangka pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan kepada bank yang ditunjuk sebagai pengelola Rekening Kas Umum Daerah.
(3) Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk dapat melakukan pinjaman jangka pendek tanpa melalui persetujuan DPRD.
(4) Pinjaman jangka pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipertanggungjawabkan dalam laporan keuangan.
Pasal 71
(1) Pinjaman jangka panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b, dipergunakan untuk membiayai penyediaan infrastruktur dalam rangka pelayanan publik yang menjadi urusan Daerah.
(2) Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diteruskan kepada badan usaha milik daerah.
- 28 -
Bagian Ketiga
Persyaratan Pinjaman
Pasal 72
(1) Dalam melakukan pinjaman jangka panjang, Pemerintah Daerah wajib memenuhi persyaratan:
a. jumlah sisa Pinjaman Daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 200% (dua ratus persen) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya setelah dikurangi belanja pegawai;
b. rasio kemampuan keuangan Daerah untuk mengembalikan pinjaman paling rendah 5 (lima);
c. tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang berasal dari Pemerintah;
d. mendapatkan persetujuan DPRD.
(2) Menteri dapat menetapkan rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a lebih tinggi dari 5 (lima) dengan memperhatikan perkembangan perekonomian nasional dan kapasitas fiskal daerah.
Pasal 73
(1) Pemerintah Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain.
(2) Barang milik Daerah tidak boleh dijadikan jaminan Pinjaman Daerah, kecuali yang tidak atau belum digunakan dalam rangka pelayanan publik.
(3) Kegiatan yang dibiayai dari Obligasi Daerah beserta barang milik Daerah yang melekat dalam kegiatan tersebut dapat dijadikan jaminan Obligasi Daerah.
Bagian Keempat
Prosedur Pinjaman Daerah
Pasal 74
(1) Kepala Daerah menyampaikan usulan pinjaman yang dananya berasal dari penerusan pinjaman kepada Menteri.
(2) Pinjaman Pemerintah Daerah yang dananya berasal dari penerusan pinjaman dilakukan melalui perjanjian penerusan pinjaman.
(3) Penerusan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dalam bentuk mata uang Rupiah atau mata uang asing.
(4) Perjanjian penerusan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antara Menteri dan Kepala Daerah.
- 29 -
Pasal 75
Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang dananya berasal selain dari penerusan pinjaman dilakukan melalui perjanjian pinjaman yang ditandatangani oleh Menteri dan Kepala Daerah.
Pasal 76
(1) Pinjaman Daerah berupa pinjaman jangka panjang yang bersumber dari Pemerintah Daerah lain, lembaga keuangan bank, dan lembaga keuangan bukan bank, dilakukan sesuai prosedur yang diberlakukan oleh pemberi pinjaman dengan mengacu pada persyaratan pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72.
(2) Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui perjanjian pinjaman yang ditandatangani oleh pemberi pinjaman dan Kepala Daerah.
Bagian Kelima
Obligasi Daerah
Pasal 77
(1) Pemerintah Daerah dapat menerbitkan Obligasi Daerah dalam mata uang Rupiah di pasar modal domestik.
(2) Nilai Obligasi Daerah pada saat jatuh tempo sama dengan nilai nominal Obligasi Daerah pada saat diterbitkan.
(3) Penerbitan Obligasi Daerah wajib memenuhi ketentuan dalam Pasal 72 dan Pasal 73 serta ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
(4) Hasil penjualan Obligasi Daerah digunakan untuk membiayai investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan memberikan manfaat bagi masyarakat.
(5) Penerimaan dari investasi sektor publik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan untuk membiayai kewajiban bunga dan pokok Obligasi Daerah terkait dan sisanya disetorkan ke kas Daerah.
Pasal 78
(1) Pemerintah Daerah dapat menerbitkan Obligasi Daerah dengan syarat:
a. hasil audit terakhir dari Badan Pemeriksa Keuangan atas laporan keuangan Pemerintah Daerah mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian atau wajar dengan pengecualian; dan
b. mendapatkan persetujuan dari DPRD dan Pemerintah.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi :
a. penetapan nilai bersih maksimal Obligasi Daerah yang akan diterbitkan;
b. pembayaran semua kewajiban bunga dan pokok yang timbul sebagai
- 30 -
akibat penerbitan Obligasi Daerah dimaksud.
(3) Penerbitan Obligasi Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 79
Pemerintah tidak menjamin Obligasi Daerah.
Pasal 80
Setiap Obligasi Daerah sekurang-kurangnya mencantumkan:
a. nilai nominal;
b. tanggal jatuh tempo;
c. tanggal pembayaran bunga;
d. tingkat bunga (kupon);
e. frekuensi pembayaran bunga;
f. cara perhitungan pembayaran bunga;
g. ketentuan tentang hak untuk membeli kembali Obligasi Daerah sebelum jatuh tempo; dan
h. ketentuan tentang pengalihan kepemilikan.
Pasal 81
(1) Pemerintah Daerah wajib membayar bunga dan pokok Obligasi Daerah pada saat jatuh tempo.
(2) Dana untuk membayar bunga dan pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan dalam APBD setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut.
(3) Dalam hal dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mencukupi untuk pembayaran bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah wajib melakukan pembayaran dan menyampaikan realisasi pembayaran tersebut kepada DPRD dalam pembahasan Perubahan APBD.
Pasal 82
(1) Pengelolaan Obligasi Daerah diselenggarakan oleh Kepala Daerah.
(2) Kepala Daerah menunjuk satuan kerja yang bertanggung jawab untuk mengelola Obligasi Daerah.
(3) Pengelolaan Obligasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan Obligasi Daerah termasuk kebijakan pengendalian risiko;
b. perencanaan dan penetapan struktur portofolio Pinjaman Daerah;
c. penerbitan Obligasi Daerah;
d. penjualan Obligasi Daerah melalui lelang;
e. pembelian kembali Obligasi Daerah sebelum jatuh tempo;
f. pelunasan pada saat jatuh tempo; dan
- 31 -
g. pertanggungjawaban.
Bagian Keenam
Pelaporan Pinjaman dan Sanksi
Pasal 83
(1) Pemerintah Daerah menyampaikan laporan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban pinjaman kepada Menteri setiap semester dalam tahun anggaran berjalan.
(2) Dalam hal Daerah tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat mengenakan sanksi berupa penundaan penyaluran Dana Perimbangan.
Pasal 84
(1) Seluruh kewajiban Pinjaman Daerah yang jatuh tempo wajib dianggarkan dalam APBD tahun anggaran yang bersangkutan.
(2) Dalam hal Daerah tidak memenuhi kewajiban membayar pinjamannya kepada Pemerintah, kewajiban membayar pinjaman tersebut diperhitungkan dengan DAU dan/atau DBH yang menjadi hak Daerah tersebut.
Pasal 85
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pinjaman Daerah termasuk penerbitan Obligasi Daerah, pelaporan Pinjaman Daerah serta pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
HIBAH
Pasal 86
(1) Hibah diberikan kepada Daerah dalam rangka:
a. penerusan pinjaman luar negeri dan/atau hibah luar negeri;
b. penyelenggaraan kegiatan yang berskala nasional dan internasional; dan/atau
c. kegiatan tertentu untuk Daerah tertentu berdasarkan usulan kementerian/lembaga.
(2) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengikat secara politis yang dapat mempengaruhi kebijakan strategis Daerah.
(3) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui perjanjian hibah antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah.
(4) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk mendanai kegiatan yang merupakan urusan Daerah.
(5) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk uang, barang, dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan.
- 32 -
Pasal 87
Hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 diusulkan oleh kementerian/lembaga.
Pasal 88
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan hibah diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB IX
DANA DARURAT
Pasal 89
(1) Dana Darurat dapat dialokasikan kepada Daerah dalam APBN untuk mendanai keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana yang tidak dapat ditanggulangi oleh Daerah dengan menggunakan sumber APBD.
(2) Kriteria bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh lembaga yang bertanggung jawab di bidang penanggulangan bencana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Dana Darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pada tahap pascabencana.
(4) Dana Darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk mendanai perbaikan fasilitas umum untuk pelayanan dasar.
Pasal 90
Dana Darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 diusulkan oleh kementerian/lembaga.
Pasal 91
Alokasi Dana Darurat kepada Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
BAB X
PENGELOLAAN KEUANGAN
DALAM RANGKA DESENTRALISASI
Bagian Kesatu
Asas Umum
Pasal 92
(1) Keuangan Daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.
- 33 -
(2) APBD, Perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(3) APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, dan distribusi.
(4) Semua Penerimaan dan Pengeluaran Daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD.
(5) Surplus penerimaan Daerah dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran Daerah tahun anggaran berikutnya.
(6) Khusus penggunaan surplus penerimaan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk membentuk Dana Cadangan atau penyertaan dalam badan usaha milik daerah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPRD.
Pasal 93
(1) Dana yang dialokasikan kepada Daerah setelah APBD ditetapkan, dapat langsung digunakan tanpa menunggu perubahan APBD.
(2) Dalam hal APBD perubahan belum ditetapkan, penggunaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam APBD perubahan.
(3) Dalam hal APBD perubahan telah ditetapkan, penggunaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah.
Pasal 94
(1) Peraturan Daerah tentang APBD merupakan dasar bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan Penerimaan dan Pengeluaran Daerah.
(2) Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada pengeluaran atas beban APBD, jika anggaran untuk mendanai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia.
(3) Semua Pengeluaran Daerah, termasuk subsidi, hibah, dan bantuan sosial sesuai dengan program Pemerintah Daerah didanai melalui APBD.
(4) Keterlambatan pembayaran atas tagihan yang berkaitan dengan pelaksanaan APBD dapat mengakibatkan pengenaan denda dan/atau bunga.
(5) APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan Keuangan Daerah.
(6) Kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikaitkan dengan penyediaan pelayanan dasar sesuai dengan standar pelayanan minimum dan sektor unggulan Daerah.
(7) Dalam hal APBD diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
- 34 -
(8) Dalam hal APBD diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan surplus tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
Pasal 95
(1) Dana APBD yang dialokasikan untuk penyediaan pelayanan dasar berupa belanja modal dan belanja barang untuk pemeliharaan infrastruktur ditetapkan sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari total belanja APBD.
(2) Dalam hal belanja modal dan belanja barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dapat dipenuhi, yang diakibatkan oleh belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah yang tidak rasional, Pemerintah Daerah tidak dapat menambah jumlah Pegawai Negeri Sipil Daerah sampai dengan terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 95A
(1) Dana APBD yang dialokasikan untuk belanja pegawai setinggi-tingginya 50% (lima puluh persen) dari total belanja APBD.
(2) Dalam hal dana APBD yang dialokasikan untuk belanja pegawai melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah tidak dapat menambah jumlah Pegawai Negeri Sipil Daerah sampai dengan terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 96
Tahun anggaran APBD sama dengan tahun anggaran APBN, yang meliputi masa 1 (satu) tahun mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.
Pasal 97
(1) APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan anggaran pembiayaan.
(2) Anggaran pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari PAD, pendapatan transfer, dan Lain-lain Pendapatan.
(3) PAD bersumber dari:
a. Pajak Daerah;
b. Retribusi Daerah;
c. pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan
d. lain-lain PAD.
(4) Lain-lain PAD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, meliputi:
a. hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan;
b. jasa giro;
c. pendapatan bunga;
d. keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan
e. komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan
- 35 -
dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah.
(5) Pendapatan transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi transfer dana dari Pemerintah dan antar Pemerintah Daerah.
(6) Transfer dana dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terdiri atas Dana Perimbangan, Dana Otonomi Khusus, Hibah dan Dana Darurat.
(7) Lain-lain pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pendapatan selain PAD dan pendapatan transfer.
(8) Anggaran belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.
(9) Anggaran pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. penerimaan pembiayaan, antara lain SiLPA, penerimaan pinjaman, pencairan dana cadangan, dan penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan;
b. pengeluaran pembiayaan, antara lain, pembayaran pokok pinjaman, pemberian pinjaman, pembentukan dana cadangan, dan penyertaan modal.
Bagian Kedua
Perencanaan
Pasal 98
(1) Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah menyusun RKPD yang mengacu pada Rencana Kerja Pemerintah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional.
(2) RKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar penyusunan rancangan APBD.
(3) RKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dijabarkan dalam RKA SKPD.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan RKA SKPD diatur dengan Peraturan Daerah.
Pasal 99
(1) Pemerintah Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya sejalan dengan RKPD kepada DPRD selambat-lambatnya bulan Juni tahun berjalan.
(2) DPRD membahas kebijakan umum APBD yang diajukan Pemerintah Daerah dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya.
(3) Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati, Pemerintah Daerah dan DPRD membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap SKPD.
- 36 -
Pasal 100
(1) Kepala SKPD selaku pengguna anggaran menyusun RKA SKPD tahun berikutnya.
(2) Renja SKPD disusun dengan pendekatan prestasi kerja yang akan dicapai.
(3) RKA SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun.
(4) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan Rancangan APBD.
(5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan Daerah sebagai bahan penyusunan rancangan Peraturan Daerah tentang APBD tahun berikutnya.
Pasal 101
(1) Kepala Daerah mengajukan rancangan Peraturan Daerah tentang APBD disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD.
(2) DPRD bersama dengan Pemerintah Daerah membahas Rancangan APBD yang disampaikan dalam rangka mendapatkan persetujuan.
(3) Rancangan APBD yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah dituangkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
Bagian Ketiga
Pelaksanaan
Pasal 102
(1) Semua penerimaan dan pengeluaran Daerah harus dibukukan pada Rekening Kas Umum Daerah.
(2) Penerimaan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetor tepat waktu dan tepat jumlah.
Pasal l03
(1) Pengeluaran atas beban APBD dalam satu tahun anggaran hanya dapat dilaksanakan setelah APBD tahun anggaran yang bersangkutan ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
(2) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak disetujui DPRD, untuk membiayai keperluan setiap bulan Pemerintah Daerah dapat melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar realisasi APBD tahun anggaran sebelumnya.
(3) Kepala SKPD menyusun dokumen pelaksanaan anggaran untuk SKPD yang dipimpinnya berdasarkan alokasi anggaran yang ditetapkan oleh Kepala Daerah.
- 37 -
(4) Pengguna anggaran melaksanakan kegiatan sebagaimana tersebut dalam dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan.
(5) Pengguna anggaran berhak untuk menguji, membebankan pada mata anggaran yang disediakan, dan memerintahkan pembayaran tagihan atas beban APBD.
(6) Pembayaran atas tagihan yang dibebankan APBD dilakukan oleh bendahara umum Daerah.
(7) Pembayaran atas tagihan yang dibebankan APBD tidak boleh dilakukan sebelum barang dan/atau jasa diterima.
Pasal 104
(1) Daerah dapat membentuk Dana Cadangan guna mendanai kebutuhan pembangunan prasarana dan sarana Daerah yang tidak dapat dibebankan dalam 1 (satu) tahun anggaran.
(2) Pembentukan Dana Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(3) Dana Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari penyisihan atas penerimaan APBD kecuali dari DAK, Pinjaman Daerah, dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk pengeluaran tertentu.
(4) Penggunaan Dana Cadangan dalam satu tahun anggaran menjadi penerimaan pembiayaan APBD dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Pasal 105
(1) Dana Cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) ditempatkan dalam rekening tersendiri dalam Rekening Kas Umum Daerah.
(2) Dalam hal Dana Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum digunakan sesuai dengan peruntukannya, dana tersebut dapat ditempatkan dalam portofolio yang memberikan hasil tetap dengan risiko rendah.
Pasal 106
(1) Pemerintah Daerah dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain atas dasar prinsip saling menguntungkan.
(2) Kerja sama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(3) Anggaran yang timbul akibat dari kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam APBD.
Pasal 107
(1) Dalam keadaan darurat, Pemerintah Daerah dapat melakukan belanja dari APBD yang belum tersedia anggarannya.
- 38 -
(2) Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya harus memenuhi seluruh kriteria sebagai berikut:
a. bukan merupakan kegiatan normal dari aktivitas Pemerintah Daerah dan tidak dapat diprediksikan sebelumnya;
b. berada di luar kendali dan pengaruh Pemerintah Daerah; dan
c. memiliki dampak yang signifikan terhadap anggaran dalam rangka pemulihan yang disebabkan oleh keadaan darurat.
(3) Belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD atau disampaikan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah.
Pasal 108
(1) Perubahan APBD ditetapkan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya tahun anggaran.
(2) Perubahan APBD hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun anggaran, kecuali dalam keadaan luar biasa.
(3) Keadaan luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah keadaan yang menyebabkan estimasi penerimaan dan/atau pengeluaran dalam APBD mengalami kenaikan atau penurunan lebih besar dari 50% (lima puluh persen).
Bagian Keempat
Pertanggungjawaban
Pasal 109
(1) Pemerintah Daerah menyampaikan rancangan Peraturan Daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran.
(2) Bentuk dan isi Laporan Keuangan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan disajikan sesuai dengan Standar Akuntasi Pemerintahan.
Pasal 110
Hal yang berkenaan dengan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan Daerah, sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini, dilaksanakan dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara dan perbendaharaan negara.
Bagian Kelima
Pengendalian
Pasal 111
(1) Menteri menetapkan batas maksimal jumlah kumulatif defisit APBN dan
- 39 -
APBD.
(2) Jumlah kumulatif defisit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak melebihi 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto tahun bersangkutan.
(3) Menteri menetapkan batas maksimal kumulatif defisit APBD dan batas maksimal defisit APBD masing-masing Daerah setiap tahun anggaran.
(4) Dalam hal suatu Daerah menetapkan defisit melampaui batas maksimal defisit APBD, Menteri dapat memberikan persetujuan pelampauan defisit tersebut sepanjang batas maksimal kumulatif defisit APBD tidak terlampaui.
(5) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dapat dikenakan sanksi berupa penundaan atas penyaluran Dana Perimbangan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 112
(1) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
(2) Sumber-sumber pembiayaan defisit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain:
a. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA);
b. Dana Cadangan;
c. Pinjaman Daerah;
d. Penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan.
Pasal 113
(1) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, Pemerintah Daerah dapat mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada DPRD.
(2) Penggunaan surplus anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan untuk:
a. pembayaran pokok utang;
b. penyertaan modal;
c. pembentukan dana cadangan.
Pasal 114
(1) Penyaluran DAU dan DBH dapat ditunda atau dikonversi dalam bentuk surat utang Negara bagi Daerah yang memiliki SiLPA yang tinggi.
(2) SiLPA yang tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila melebihi kebutuhan belanja untuk 3 (tiga) bulan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya DAU dan DBH yang ditunda atau dikonversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Menteri.
- 40 -
Bagian Keenam
Penilaian Kinerja Keuangan Daerah
Pasal 115
(1) Pemerintah melakukan penilaian secara berkala terhadap kinerja keuangan Daerah.
(2) Hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk:
a. memberikan insentif bagi Daerah yang kinerjanya baik;
b. memberikan insentif non fiskal untuk perbaikan kinerja bagi Daerah yang kinerjanya rendah;
c. mengusulkan penghapusan Daerah bagi Daerah yang kinerjanya rendah dalam jangka waktu tertentu.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penilaian kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketujuh
Pengawasan dan Pemeriksaan
Pasal 116
(1) Pengawasan APBD dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemeriksaan APBD dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara.
Pasal 117
Pejabat tertentu di bidang pengelola keuangan Daerah wajib memiliki sertifikasi di bidang pengelolaan keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 118
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Keuangan Daerah diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan.
Pasal 119
(1) Pemerintah Daerah dapat melakukan penyertaan modal kepada badan usaha milik daerah.
(2) Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan untuk badan usaha yang menyelenggarakan penyediaan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak.
(3) Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka:
- 41 -
a. pendirian;
b. penambahan penyertaan modal.
(4) Penambahan penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf (b) dilakukan dalam rangka:
a. memperbaiki struktur permodalan; dan/atau
b. meningkatkan kapasitas usaha;
c. penyehatan keuangan.
(5) Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam APBD.
Pasal 120
Pemerintah Daerah berhak memperoleh bagian laba/deviden atas penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (1).
Pasal 121
(1) Selain penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (1), Pemerintah Daerah dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada badan usaha milik daerah dalam rangka:
a. meningkatkan kapasitas usaha; dan/atau
b. penyehatan keuangan.
(2) Pemberian pinjaman dan hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan hanya kepada badan usaha milik daerah yang memenuhi kriteria:
a. menyelenggarakan penyediaan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak;
b. seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
(3) Pemberian pinjaman dan/atau hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam APBD.
Pasal 122
(1) Pemerintah Daerah memberikan subsidi kepada badan usaha milik daerah.
(2) Subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan apabila Pemerintah Daerah menetapkan tarif barang dan/atau jasa di bawah biaya produksi.
(3) Subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam belanja APBD.
Pasal 123
(1) Setiap badan usaha milik daerah wajib menyampaikan laporan keuangan secara berkala kepada Pemerintah Daerah.
(2) Gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap badan usaha milik daerah.
- 42 -
BAB XI
DANA DEKONSENTRASI
Pasal 124
(1) Dana Dekonsentrasi dialokasikan untuk mendanai urusan yang merupakan kewenangan Pemerintah yang pelaksanaannya dilimpahkan kepada gubernur.
(2) Pelimpahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sejalan dengan peran gubernur sebagai wakil Pemerintah.
(3) Urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang didanai dari Dana Dekonsentrasi meliputi kegiatan atau program yang lebih tepat dan efisien dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi.
(4) Kegiatan atau program yang didanai dari Dana Dekonsentrasi dilaksanakan oleh SKPD yang ditetapkan oleh gubernur.
Bagian Kesatu
Penganggaran Dana Dekonsentrasi
Pasal 125
(1) Dana Dekonsentrasi merupakan bagian anggaran kementerian negara/lembaga yang dialokasikan berdasarkan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga.
(2) Besaran Dana Dekonsentrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan program atau kegiatan yang akan dilimpahkan.
(3) Rencana lokasi dan anggaran untuk program dan kegiatan yang akan didekonsentrasikan disusun dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara, keseimbangan pendanaan dan tingkat kesejahteraan di Daerah, dan kebutuhan pembangunan Daerah.
Bagian Kedua
Penyaluran Dana Dekonsentrasi
Pasal 126
(1) Penyaluran Dana Dekonsentrasi dilakukan oleh Bendahara Umum Negara atau kuasanya melalui Rekening Kas Umum Negara.
(2) Dalam hal pelaksanaan Dekonsentrasi terdapat saldo kas pada akhir tahun anggaran, saldo tersebut harus disetor ke Rekening Kas Umum Negara.
(3) Dalam hal pelaksanaan Dekonsentrasi menghasilkan penerimaan, penerimaan tersebut merupakan penerimaan APBN yang harus disetor ke Rekening Kas Umum Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
- 43 -
Bagian Ketiga
Pertanggungjawaban dan Pelaporan
Dana Dekonsentrasi
Pasal 127
(1) Penatausahaan keuangan dan barang dalam pelaksanaan Dekonsentrasi dilakukan secara terpisah dari penatausahaan keuangan dan barang dalam pelaksanaan Desentralisasi.
(2) SKPD menyelenggarakan penatausahaan keuangan dan barang dalam rangka Dekonsentrasi secara tertib sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) SKPD menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi kepada gubernur.
(4) Gubernur menyampaikan laporan pertanggungjawaban seluruh pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi kepada menteri/ pimpinan lembaga yang memberikan pelimpahan urusan.
(5) Menteri/pimpinan lembaga menyampaikan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi secara nasional kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Status Barang dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi
Pasal 128
(1) Semua barang yang diperoleh dari Dana Dekonsentrasi menjadi barang milik Negara.
(2) Barang milik Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihibahkan kepada Daerah.
(2) Barang milik Negara yang dihibahkan kepada Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dikelola dan ditatausahakan oleh Daerah.
Pasal 129
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penganggaran, penyaluran, pelaporan, pertanggungjawaban, dan penghibahan barang milik Negara yang diperoleh atas pelaksanaan Dana Dekonsentrasi diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Pengawasan dan Pemeriksaan
Pasal 130
(1) Pengawasan Dana Dekonsentrasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemeriksaan Dana Dekonsentrasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
- 44 -
BAB XII
DANA TUGAS PEMBANTUAN
Pasal 131
(1) Dana Tugas Pembantuan dialokasikan untuk mendanai urusan yang merupakan kewenangan Pemerintah yang pelaksanaannya ditugaskan kepada pemerintah kabupaten dan kota.
(2) Urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang didanai dari Dana Tugas Pembantuan meliputi kegiatan atau program yang lebih tepat dan efisien dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten dan kota.
(3) Kegiatan atau program yang didanai dari Dana Tugas Pembantuan dilaksanakan oleh SKPD yang ditetapkan oleh bupati atau walikota.
Bagian Kesatu
Penganggaran Dana Tugas Pembantuan
Pasal 132
(1) Dana Tugas Pembantuan merupakan bagian anggaran kementerian negara/lembaga yang dialokasikan berdasarkan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga.
(2) Besaran Dana Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan kegiatan atau program yang akan ditugaskan.
(3) Rencana lokasi dan anggaran untuk program dan kegiatan yang akan ditugaskan disusun dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara, keseimbangan pendanaan dan tingkat kesejahteraan di Daerah, dan kebutuhan pembangunan Daerah.
Bagian Kedua
Penyaluran Dana Tugas Pembantuan
Pasal 133
(1) Penyaluran Dana Tugas Pembantuan dilakukan oleh Bendahara Umum Negara atau kuasanya melalui Rekening Kas Umum Negara.
(2) Dalam hal pelaksanaan Tugas Pembantuan terdapat saldo kas pada akhir tahun anggaran, saldo tersebut harus disetor ke Rekening Kas Umum Negara.
(3) Dalam hal pelaksanaan Tugas Pembantuan menghasilkan penerimaan, penerimaan tersebut merupakan penerimaan APBN yang harus disetor ke Rekening Kas Umum Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
- 45 -
Bagian Ketiga
Pertanggungjawaban dan Pelaporan
Dana Tugas Pembantuan
Pasal 134
(1) Penatausahaan keuangan dan barang dalam pelaksanaan Tugas Pembantuan dilakukan secara terpisah dari penatausahaan keuangan dan barang dalam pelaksanaan Desentralisasi.
(2) SKPD menyelenggarakan penatausahaan keuangan dan barang dalam rangka Tugas Pembantuan secara tertib sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) SKPD menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan Tugas Pembantuan kepada bupati atau walikota.
(4) Bupati dan walikota menyampaikan laporan pertanggungjawaban seluruh pelaksanaan kegiatan Tugas Pembantuan kepada menteri negara/pimpinan lembaga yang menugaskan.
Bagian Keempat
Status Barang dalam Pelaksanaan Tugas Pembantuan
Pasal 135
(1) Semua barang yang diperoleh dari Dana Tugas Pembantuan menjadi barang milik negara.
(2) Barang milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihibahkan kepada Daerah bersamaan dengan berakhirnya pelaksanaan kegiatan atau program.
(3) Barang milik negara yang dihibahkan kepada Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dikelola dan ditatausahakan oleh Daerah.
(4) Barang milik Negara yang tidak dihibahkan kepada Daerah wajib dikelola dan ditatausahakan oleh kementerian negara/lembaga yang memberikan penugasan.
Pasal 136
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penganggaran, penyaluran, pelaporan, pertanggungjawaban, dan penghibahan barang milik Negara yang diperoleh atas pelaksanaan Tugas Pembantuan diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Pengawasan dan Pemeriksaan
Pasal 137
(1) Pengawasan Dana Tugas Pembantuan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemeriksaan Dana Tugas Pembantuan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung
- 46 -
jawab keuangan negara.
BAB XIII
SISTEM INFORMASI KEUANGAN DAERAH
Pasal 138
(1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD).
(2) Penyelenggaraan SIKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
a. membantu Kepala Daerah dalam menyusun anggaran Daerah dan laporan pengelolaan keuangan Daerah;
b. membantu Kepala Daerah dalam merumuskan kebijakan keuangan Daerah;
c. membantu Kepala Daerah dan instansi terkait lainnya dalam melakukan evaluasi kinerja keuangan Daerah;
d. membantu menyediakan kebutuhan statistik keuangan Daerah;
e. mendukung keterbukaan informasi kepada masyarakat; dan
f. mendukung penyelenggaraan SIKD secara nasional.
(3) SIKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya menghasilkan informasi anggaran, pelaksanaan anggaran, dan laporan keuangan.
(4) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Pemerintah.
(5) Daerah yang terlambat menyampaikan informasi dan/atau tidak menyampaikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenakan sanksi berupa penundaan penyaluran Dana Perimbangan.
(6) Ketentuan mengenai jenis, batas waktu penyampaian informasi dan pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 139
(1) Pemerintah menyelenggarakan SIKD secara nasional.
(2) Penyelenggaraan SIKD secara nasional bertujuan:
a. membantu Pemerintah dalam merumuskan kebijakan keuangan Daerah dan pengendalian fiskal nasional;
b. menyajikan informasi Keuangan Daerah secara nasional; dan
c. membantu Pemerintah dalam melakukan pemantauan, pengendalian dan evaluasi pendanaan Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.
(3) Penyelenggaraan SIKD secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
- 47 -
dilakukan oleh Menteri.
(4) Ketentuan mengenai bentuk, format, dan tata cara penyampaian informasi diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 140
Informasi yang dimuat dalam Sistem Informasi Keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 dan Pasal 139 merupakan data terbuka yang dapat diketahui dan diakses oleh masyarakat.
BAB XIV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 141
(1) Persyaratan teknis pemekaran Daerah berdasarkan parameter kesisteman aspek keuangan meliputi:
a. rasio potensi penerimaan pajak Daerah/retribusi Daerah dan DBH terhadap PDRB;
b. kesiapan sistem administrasi keuangan;
(2) Rasio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk:
a. kabupaten/kota baru sekurang-kurangnya sama dengan rasio rata-rata kabupaten/kota lainnya secara nasional;
b. provinsi baru sekurang-kurangnya sama dengan rasio terkecil provinsi lainnya yang berdampingan.
(3) Kesiapan sistem administrasi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup:
a. sistem dan prosedur pengelolaan keuangan;
b. sumber daya manusia di bidang pengelolaan keuangan.
(4) Persyaratan teknis aspek keuangan merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam penilaian kelayakan daerah pemekaran.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 142
(1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan peraturan pelaksanaannya masih tetap berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.
(2) Peraturan pelaksanaan atas Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.
- 48 -
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 143
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, maka:
1. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4438) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
2. Ketentuan Pasal 18 dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
3. Ketentuan Pasal 66A, Pasal 66B, Pasal 66C, dan Pasal 66D dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1997 tentang Cukai dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
4. Ketentuan mengenai DBH PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilaksanakan mulai tahun anggaran 2014.
Pasal 144
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 20…
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal …
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 20… NOMOR …



PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH
I. UMUM
Berdasarkan amanat Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Masing-masing provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan sendiri. Dalam konteks Negara kesatuan, Pemerintah Nasional atau Pemerintah Pusat dibentuk terlebih dahulu sebelum pembentukan Pemerintah Daerah. Dengan demikian, urusan pemerintahan akan diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Masing-masing pemerintahan mempunyai urusan sendiri namun tanggungjawab akhir dari urusan tersebut tetap ada ditangan Pemerintah Pusat. Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang menjadi tanggungjawab daerah dilaksanakan berdasarkan asas otonomi sedangkan urusan pemerintahan yang bukan merupakan tanggungjawab pemerintah daerah dilaksanakan berdasarkan asas tugas pembantuan. Pembagian Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi provinsi, kabupaten dan kota dan pembagian urusan pemerintahan antar pemerintahan tersebut menimbulkan adanya hubungan wewenang dan keuangan. Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan agar hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang.
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, pengaturan mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah mencakup pemberian kewenangan dalam pengenaan pajak dan retribusi daerah, pembagian sumber keuangan, sejalan dengan pembagian urusan dan tatacara penyelenggaraan urusan tersebut dan pengaturan mengenai prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah. Untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi tanggungjawabnya sesuai dengan asas otonomi, daerah provinsi, kabupaten, dan kota diberikan kewenangan untuk mengenakan pajak dan retribusi daerah. Dalam Undang-Undang ini kewenangan daerah dalam perpajakan dan retribusi tidak diatur secara rinci, karena akan diatur dalam Undang-Undang tersendiri. Pengaturan mengenai kewenangan perpajakan/retribusi ini diperlukan karena esensi dari otonomi daerah khususnya dibidang keuangan adalah adanya kewenangan daerah dalam pemungutan pajak dan retribusi.
- 2 -
Pemberian kewenangan daerah dalam perpajakan dan retribusi harus disesuaikan dengan pemberian tanggungjawab dalam urusan pemerintahan. Kewenangan daerah yang semakin besar dalam perpajakan/retribusi diharapkan dapat meningkatkan akuntabilitas pengeluaran daerah. Daerah akan selalu dapat mengkaitkan antara tingkat pelayanan dengan pembebanan pajak/retribusi. Kondisi ini pada gilirannya akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengeluaran daerah.
Namun demikian pemberian kewenangan perpajakan dan retribusi kepada daerah harus mempertimbangkan kesinambungan fiskal dan kesatuan ekonomi nasional. Penyerahan pajak pusat kepada daerah seharusnya tidak mengurangi kemampuan Pemerintah Pusat untuk melakukan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dan tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan merintangi arus barang/jasa antar daerah. Dengan pertimbangan tersebut, pemberian kewenangan perpajakan dan retribusi daerah tidak selalu dapat disesuaikan dengan besarnya urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah. Pertimbangan efisiensi ekonomi dan adanya ketimpangan antar daerah, mengharuskan pemerintah pusat menguasai sumber-sumber pendapatan yang cukup besar. Oleh karena itu, sumber-sumber keuangan negara harus dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang ini Pemerintah Pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada daerah, berupa dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK).
Secara keseluruhan dana perimbangan dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan vertikal antara Pusat dan Daerah. Dana Perimbangan juga bertujuan untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar-Daerah. Ketiga komponen Dana Perimbangan ini merupakan satu kesatuan yang utuh mengingat tujuan masing-masing jenis sumber tersebut saling mengisi dan melengkapi. Dengan kewenangan dalam perpajakan/retribusi dan dana perimbangan diharapkan semua daerah mampu menyediakan pelayanan dengan standar pelayanan minimum (SPM).
DBH dialokasikan dari pendapatan tertentu dalam APBN kepada Daerah dalam persentase tertentu. DBH bertujuan untuk mengurangi ketimpangan vertikal dan sekaligus memberikan akses yang lebih besar kepada daerah terhadap sumber-sumber penerimaan yang relatif cukup besar. DBH juga dimaksudkan untuk memberikan insentif bagi daerah untuk mengoptimalkan penerimaan yang dibagihasilkan tersebut dan meningkatkan kepatuhan membayar pajak. Pajak yang dibayarkan oleh masyarakat akan dikembalikan sebagian kepada daerah yang bersangkutan. Dengan DBH diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara. Tidak semua pendapatan negara dapat dibagihasilkan secara langsung kepada daerah. Penerimaan negara yang dapat dibagihasilkan adalah pendapatan yang dapat dengan mudah diidentifikasi daerah penghasilnya dan beban pajaknya sebagian besar ditanggung oleh masyarakat setempat. Dalam Undang-Undang ini, pendapatan APBN yang dibagihasilkan kepada daerah berupa pendapatan pajak dan bukan pajak dari sumber daya alam. Undang-Undang ini menetapkan 2
- 3 -
jenis pendapatan pajak negara yang dibagihasilkan yaitu PBB dan PPh orang pribadi dalam negeri Pasal 25 dan Pasal 29 dan Pasal 21 dan Cukai Hasil Tembakau. Jenis DBH tersebut selama ini telah ada. Pengaturan DBH dalam Undang-Undang ini merupakan penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan dana, seluruh penerimaan DBH termasuk DBH SDA diserahkan penggunaannya kepada daerah (block grant).
DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah. DAU dialokasikan berdasarkan suatu formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi Daerah. DAU suatu Daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap), yang dihitung dari selisih antara kebutuhan Daerah (fiscal need) dan potensi Daerah (fiscal capacity). Variabel penghitungan kebutuhan fiskal disederhanakan sehingga hanya menggunakan variabel yang terkait dengan kebutuhan tersebut. Bagi Daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, Daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Alokasi DAU tidak lagi dikaitkan secara langsung dengan belanja pegawai. Untuk memberikan kepastian bagi daerah porsi pembagian DAU akan diberlakukan untuk jangka waktu 2-3 tahun sepanjang tidak terdapat penambahan daerah otonom.
DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di Daerah tertentu yang merupakan urusan Daerah. DAK dialokasikan untuk 3 tujuan yaitu (1)untuk membantu daerah dalam rangka pemenuhan Standar Pelayanan Minimum pelayanan dasar pendidikan, kesehatan, dan/atau infrastruktur jalan, jembatan, sanitasi, irigasi, dan air minum;(2)pencapaian prioritas nasional; dan (3)untuk kebijakan tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundangan termasuk kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ABPN. Daerah yang belum dapat memenuhi SPM karena dana yang tersedia tidak mencukupi maka kepada daerah yang bersangkutan dapat dialokasikan DAK. Daerah yang memperoleh DAK untuk pemenuhan SPM tersebut tidak diwajibkan untuk menyediakan dana pendamping.
DAK untuk prioritas nasional terdiri dari 2 jenis yaitu yang bersifat sektoral dan kewilayahan. DAK untuk prioritas nasional yang bersifat sektoral memerlukan dana pendamping sebagai bentuk komitmen terhadap perlunya penyediaan layanan tersebut. Pengaloksian DAK prioritas nasional yang bersifat sektoral mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah yang bersangkutan. Sementara itu, DAK untuk prioritas nasional yang bersifat kewilayahan tidak mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah yang bersangkutan. Daerah yang menerima DAK untuk tujuan ini hanya ditentukan oleh indeks teknis yang ditetapkan oleh Kementerian dan Lembaga.
- 4 -
DAK juga dialokasikan kepada daerah untuk melaksanakan kebijakan tertentu yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan atau yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN. Untuk menunjang program wajib belajar 9 tahun dan untuk mendukung profesionalisme guru serta untuk insentif atas pencapaian kinerja tertentu kepada daerah dapat dialokasikan DAK. Undang-Undang ini juga memberikan kewenangan kepada Pemerintah dan DPR mengalokasikan dana untuk melaksanakan kebijakan tertentu yang kriteria dan indikatornya ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN. Besarnya alokasi dana DAK untuk masing-masing daerah untuk kebijakan ini ditentukan berdasarkan biaya per satuan kegiatan.
Selain dana perimbangan, Pemerintah juga mengalokasikan dana otonomi khusus kepada daerah tertentu yang memiliki status daerah otonom khusus, dana hibah dan dana darurat dan pinjaman. Jenis dana otonomi khusus tidak diatur dalam Undang-Undang ini karena diatur tersendiri dalam Undang-Undang otonomi khusus tersebut. Undang-Undang ini hanya mengatur mekanisme penyaluran sehingga lebih memberikan kepastian bagi daerah.
Pemerintah dapat memberikan dana hibah kepada daerah baik dalam bentuk penerusan hibah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional maupun dari penerimaan dalam negeri. Hibah dari penerimaan dalam negeri digunakan untuk penyelenggaraan kegiatan yang berskala nasional dan internasional dan hibah untuk mendanai kegiatan tertentu untuk daerah tertentu berdasarkan usulan Kementrian/Lembaga. Pemberian hibah dilakukan melalui perjanjian hibah yang ditandatangani oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Sementara itu, Dana Darurat diberikan kepada Daerah untuk mendanai kegiatan paska bencana nasional yang tidak dapat ditanggulangi dengan dana APBD.
Pinjaman Daerah merupakan salah satu sumber pembiayaan yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi Daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pembiayaan yang bersumber dari pinjaman harus dikelola secara benar agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi keuangan daerah sendiri serta stabilitas ekonomi dan moneter secara nasional. Oleh karena itu, pinjaman daerah perlu mengikuti kriteria, persyaratan, mekanisme, dan sanksi pinjaman daerah yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Dalam Undang-Undang ini juga ditegaskan bahwa Daerah dilarang melakukan pinjaman langsung ke luar negeri. Pinjaman yang bersumber dari luar negeri hanya dapat dilakukan melalui Pemerintah dengan mekanisme penerusan pinjaman. Pengaturan ini dimaksudkan agar terdapat prinsip kehati-hatian dan kesinambungan fiskal dalam kebijakan fiskal dan moneter oleh Pemerintah. Namun demikian, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar dalam melakukan pinjaman. Pinjaman daerah tidak hanya dibatasi untuk membiayai prasarana dan sarana yang menghasilkan penerimaan, tetapi juga dapat untuk membiayai proyek
- 5 -
pembangunan prasarana dasar yang tidak menghasilkan penerimaan secara langsung. Namun demikian, dalam Undang-Undang ini dilakukan pengendalian terhadap pinjaman dengan menetapkan batas kumulatif pinjaman dan menaikan rasio kemampuan membayar utang atau debt service coverage ratio (DSCR) dari 2,5 menjadi 5.
Daerah juga dimungkinkan untuk menerbitkan Obligasi Daerah dengan persyaratan tertentu, serta mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal dan memenuhi ketentuan nilai bersih maksimal Obligasi Daerah yang mendapatkan persetujuan Pemerintah. Segala bentuk akibat atau risiko yang timbul dari penerbitan Obligasi Daerah menjadi tanggung jawab Daerah sepenuhnya.
Selanjutnya, pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat oleh daerah didanai dari anggaran Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat akan mengalokasikan anggaran dalam APBN untuk mendanai urusan tersebut. Untuk menjamin agar dana-dana yang dialokasikan kepada daerah dapat dikelola dengan baik dalam Undang-Undang ini juga diatur prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah. Pengaturan mengenai pengelolaan keuangan daerah tersebut mengacu kepada prinsip-prinsip pengelolaan keuangan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada para pemangku kepentingan dan tentunya sejalan dengan pengelolaan keuangan Negara. Semua penerimaan dan pengeluaran yang menjadi hak dan kewajiban Daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD. Dalam pengadministrasian keuangan daerah, APBD, Perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Surplus APBD dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran daerah tahun anggaran berikutnya, membentuk Dana Cadangan, dan penyertaan modal dalam perusahaan daerah. Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut. Untuk mengendalikan defisit APBD, Menteri Keuangan menetapkan batas maksimum defisit APBD setiap tahun yang disesuaikan dengan defisit APBN. Total defisit APBD dan APBN tidak melampaui batas yang ditetapkan dalam Undang-Undang.
Untuk menjamin agar belanja APBD digunakan untuk penyediaan pelayanan kepada masyarakat, dalam Undang-Undang ini diatur bahwa belanja APBD diprioritaskan untuk mendanai urusan daerah yang terkait dengan pelayanan dasar sesuai dengan standar pelayanan minimum. Belanja APBD untuk belanja modal pelayanan dasar di bidang pendidikan, kesehatan, dan prasarana jalan dan jembatan, irigasi, drainase dan sanitasi minimal 20%. Daerah yang belum memenuhi kebutuhan belanja modal tersebut karena inefisiensi dalam belanja pegawai, maka daerah yang bersangkutan tidak dapat menambah pegawai sampai batasan kebutuhan tersebut dapat dipenuhi.
- 6 -
Pengaturan Dana Dekonsentrasi bertujuan untuk menjamin tersedianya dana bagi pelaksanaan kewenangan Pemerintah yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah. Dana Tugas Pembantuan untuk menjamin tersedianya dana bagi pelaksanaan kewenangan Pemerintah yang ditugaskan kepada Daerah. Dalam Undang-Undang ini ditegaskan bahwa pengadministrasian Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan dilakukan melalui mekanisme APBN, sedangkan pengadministrasian Dana Desentralisasi mengikuti mekanisme APBD. Hal ini dimaksudkan agar penyelenggaraan pembangunan dan Pemerintahan Daerah dapat dilakukan secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Dalam rangka meningkatkan pelaksanaan Desentralisasi berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, diperlukan adanya dukungan Sistem Informasi Keuangan Daerah. Sistem tersebut antara lain dimaksudkan untuk perumusan kebijakan dan pengendalian fiskal nasional.
Berdasarkan pemikiran yang diuraikan di atas, maka pokok-pokok muatan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut:
a. memperkuat pengaturan mengenai prinsip-prinsip kebijakan hubungan keuangan yang mencakup pajak dan retribusi daerah, dana perimbangan, dana otonomi khusus, pinjaman, hibah dan dana darurat, serta pengelolaan keuangan, sesuai asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan;
b. penegasan pendanaan pemerintahan daerah melalui pengenaan sanksi terhadap pemerintah dan pemerintah daerah yang mengalokasikan anggaran untuk mendanai program atau kegiatan yang tidak menjadi urusannya;
c. penyempurnaan prinsip pengalokasian Dana Alokasi Umum;
d. penyempurnaan prinsip pengalokasian Dana Alokasi Khusus;
e. penyempurnaan pengaturan Hibah dan Dana Darurat;
f. pemberian akses yang lebih besar dalam melakukan Pinjaman;
g. pengaturan mengenai prinsip-prinsip pengelolaan keuangan;
h. penegasan pengaturan Sistem Informasi Keuangan Daerah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
- 7 -
Pasal 4
Dengan ketentuan ini dana transfer dari APBN kepada Pemerintah Daerah hanya dimungkinkan dalam bentuk DBH, DAU, DAK, Dana Otonomi Khusus, Hibah, dan Dana Darurat.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
PMK tentang sanksi mengatur bahwa sanksi dikenakan berdasarkan :
a. untuk K/L hasil evaluasi tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan oleh Bappenas, Menteri Keuangan, dan Menteri Dalam Negeri; dan
b. untuk Pemerintah Daerah hasil evaluasi tentang APBD oleh Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 8 -
Ayat (2)
Dengan ketentuan ini penerimaan PPh Pasal 25/29 WPOPDN diadministrasikan sesuai dengan wilayah daerah tempat tinggal WP dan/atau tempat kegiatan usaha, sedangkan untuk PPh Pasal 21 diadministrasikan berdasarkan wilayah daerah tempat bekerja.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kontribusi daerah dapat dilihat dari jumlah penerimaan cukai, jumlah/kapasitas pabrik/produksi rokok, produksi tembakau atau luas lahan tembakau.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud kabupaten dan kota penghasil dalam ketentuan ini adalah kabupaten dan kota tempat pengusahaan hutan.
Ayat (3)
Yang dimaksud kabupaten dan kota penghasil dalam ketentuan ini adalah kabupaten dan kota tempat pengusahaan hutan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan wilayah Daerah dalam ketentuan ini adalah wilayah kabupaten dan kota tempat pengusahaan hutan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kabupaten dan kota penghasil dalam ketentuan ini adalah kabupaten dan kota yang menjadi tempat pengusahaan pertambangan umum.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
- 9 -
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kabupaten dan kota penghasil dalam ketentuan ini kabupaten dan kota yang menjadi tempat pengusahaan pertambangan minyak bumi.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan Wilayah laut yang menjadi kewenangan provinsi dalam ketentuan ini didasarkan atas peraturan perundang-undangan.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kabupaten dan kota penghasil dalam ketentuan ini:
a. untuk wilayah daratan (on shore) adalah wilayah daratan kabupaten dan kota yang menjadi tempat kepala sumur (wellhead) produksi gas bumi; dan
b. untuk wilayah lepas pantai (off shore) adalah wilayah laut kabupaten dan kota yang menjadi tempat anjungan (platform) gas bumi.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan Wilayah laut yang menjadi kewenangan provinsi dalam ketentuan ini didasarkan atas peraturan perundang-undangan.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Setoran Bagian Pemerintah dalam ketentuan ini berlaku bagi kontrak pengusahaan panas bumi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003.
Iuran Tetap dan Iuran Produksi dalam ketentuan ini berlaku bagi kontrak pengusahaan panas bumi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 10 -
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud penetapan bobot pembagian dalam ketentuan ini bertujuan untuk memberikan pembagian yang proporsional sesuai perimbangan beban kebutuhan antar daerah kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan.
Daerah yang memiliki jumlah penduduk dan luas wilayah yang lebih besar memiliki bobot yang lebih besar, sedangkan Daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang tinggi akan memperoleh bobot yang lebih rendah.
Ayat (3)
Peraturan gubernur yang berisi bobot pembagian masing-masing daerah, formulasi dan data yang digunakan dalam penetapan bobot pembagian merupakan data terbuka.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pertimbangan Menteri Dalam Negeri terkait dengan penentuan batas wilayah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 11 -
Ayat (3)
Menteri Keuangan dalam menetapkan prognosa DBH mempertimbangkan data realisasi penerimaan pajak, CHT, dan SDA tiga triwulan sebelumnya.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Daerah kabupaten dan kota yang ada di wilayah Provinsi DKI Jakarta tidak menerima DAU karena otonomi Provinsi DKI Jakarta diletakkan pada lingkup provinsi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
DAUi = CF
dimana,
DAUi = Dana Alokasi Umum untuk Daerah i
CF = Celah Fiskal
Ayat (2)
CF = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Untuk provinsi PAD dalam ketentuan ini tidak termasuk PAD yang dibagihasilkan ke kabupaten dan kota dan untuk kabupaten dan kota DBH tersebut termasuk DBH dari provinsi.
- 12 -
Pasal 33
Ayat (1)
dimana,
IPM = Indeks Pembangunan Manusia
IKK = Indeks Kemahalan Konstruksi
Ayat (2)
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ayat (5)
Ayat (6)
dimana,
IPM = Indeks Pembangunan Manusia
Ayat (7)
dimana,
IKKi = indeks kemahalan konstruksi untuk daerah i
Pasal 34
Ayat (1)
DAU Provinsii = Bobot Provinsii x DAU Provinsi
Ayat (2)
dimana,
- 13 -
CF Provinsii = celah fiskal untuk provinsi i CF Provinsi = total celah fiskal seluruh provinsi
Pasal 35
Ayat (1)
DAU Kabupaten/Kotai = Bobot Kabupaten/Kotai x DAU Kabupaten/Kota
Ayat (2)
dimana,
CF Kabupaten/Kotai = celah fiskal untuk Kabupaten/Kota i. CF Kabupaten/Kota = total celah fiskal seluruh Kabupaten/Kota.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa Daerah akan memperoleh DAU yang sama dengan tahun sebelumnya walaupun dari hasil penghitungan berdasarkan formula yang diatur dalam Undang-Undang ini mengalami penurunan.
Contoh:
Daerah A memperoleh DAU tahun 2012 sebesar Rp100 miliar. Berdasarkan penghitungan DAU sesuai formula dalam Undang-Undang ini, pada tahun 2013 daerah A mendapatkan alokasi DAU sebesar Rp60 miliar maka berdasarkan ketentuan ini daerah A tetap mendapatkan alokasi DAU sebesar Rp100 Miliar untuk tahun 2013.
Ayat (2)
Berdasarkan ketentuan ini, penghitungan DAU suatu Daerah sebagaimana contoh dalam penjelasan ayat (1) berlaku untuk jangka paling lama 2 (dua) tahun.
Contoh:
Sebelum berlakunya Undang-Undang ini, Daerah A memperoleh DAU sebesar Rp100 miliar. Sesuai dengan formula penghitungan DAU dalam Undang-Undang ini, pada tahun kedua pemberlakuan Undang-Undang ini Daerah A tetap mengalami penurunan DAU yaitu sebesar Rp80 miliar maka Daerah A berdasarkan ketentuan ini tetap mendapatkan alokasi DAU sebesar Rp100 miliar.
Daerah yang mengalami penurunan DAU selama 2 (dua) tahun berturut-turut sejak diberlakukannya Undang-Undang ini tetap mendapatkan DAU sebesar DAU tahun
- 14 -
terakhir sebelum diberlakukannya Undang-Undang ini.
Penghitungan DAU sebagaimana contoh di atas tidak berlaku dalam hal terjadi penurunan Pendapatan Dalam Negeri Neto secara signifikan yang diakibatkan oleh krisis keuangan.
Ayat (3)
Dengan ketentuan ini maka plafond DAU Nasional harus dinaikkan.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Penyediaan layanan dasar dengan standar minimum tertentu merupakan tanggung jawab Daerah.
Daerah menetapkan target capaian SPM berdasar SPM nasional dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan dan kondisi Daerah. Target capaian SPM bersifat dinamis antar Daerah antar waktu.
Kementerian teknis menilai capaian SPM setiap Daerah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Kebijakan tertentu dalam ketentuan ini termasuk kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
- 15 -
Pasal 43
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kemampuan keuangan rendah dan sedang adalah berdasarkan hasil pengelompokan kemampuan keuangan Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
dimana,
IKKDi = Indeks kemampuan keuangan daerah untuk Daerah i
KKDi = Kemampuan keuangan daerah Daerah i
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
DAKi = Bobot Daerahi x pagu alokasi DAK Nasional per bidang
Ayat (2)
DAK SPM diperuntukkan bagi daerah yang KKD-nya rendah dan SPM-nya belum mencapai kriteria tertentu, maka indeks IKKD dan indeks SPM perlu diinvers.
dimana,
= invers Indeks kemampuan keuangan daerah untuk Daerah i
= invers Indeks pencapaian Standar Pelayanan Minimum untuk Daerah i
- 16 -
Σ() = Total invers indeks kemampuan keuangan daerah dan indeks pencapaian Standar Pelayanan Minimum
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
DAKi = Bobot Daerahi x pagu DAK per bidang
Ayat (2)
dimana,
= invers dari IKKD untuk menyamakan arah perhitungan dengan indeks teknis untuk Daerah i.
ITi = Indeks teknis Daerah i
Σ( + IT) = Total invers dari IKKD untuk menyamakan arah perhitungan dengan indeks teknis dan indeks teknis.
Ayat (3)
DAKi = Bobot Daerahi x pagu DAK per bidang
Ayat (4)
dimana,
ITi = Indeks teknis untuk daerah i
ΣIT = Total indeks teknis
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
- 17 -
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Hal-hal yang perlu diatur dalam pedoman umum: arah kebijakan, ruang lingkup kebijakan, pelaporan, dan sanksi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penghitungan dan pengalokasian Dana Perimbangan untuk daerah baru dilakukan oleh Pemerintah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
- 18 -
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa pinjaman Daerah merupakan alternatif pendanaan APBD yang digunakan untuk menutup defisit APBD, pengeluaran pembiayaan, dan/atau kekurangan arus kas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “lembaga keuangan bank” adalah lembaga keuangan bank yang berbadan hukum Indonesia dan mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Huruf d
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “lembaga keuangan bukan bank” adalah lembaga pembiayaan yang berbadan hukum Indonesia dan mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti lembaga pembiayaan leasing.
Huruf e
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “masyarakat” adalah orang pribadi atau badan yang melakukan investasi di pasar modal.
Ayat (2)
Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah dananya berasal dari pendapatan dalam negeri dan penerusan pinjaman, termasuk dana investasi Pemerintah. Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah diberikan dalam kerangka
- 19 -
hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "tahun anggaran yang berkenaan" adalah tahun anggaran pada saat Pemerintah Daerah melakukan Pinjaman Jangka Pendek.
Jangka waktu pelunasan Pinjaman Jangka Pendek tidak dapat melebihi tahun anggaran berkenaan. Dengan demikian, Pinjaman Jangka Pendek tidak diperkenankan dilakukan untuk mendanai defisit kas pada akhir tahun anggaran.
Pinjaman Jangka Pendek tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan, misalnya pelunasan kewajiban atas pengadaan/pembelian barang dan/atau jasa yang tidak dilakukan pada saat barang dan/atau jasa dimaksud diterima.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Pinjaman jangka pendek hanya dapat dilaksanakan untuk mendanai kegiatan yang sudah tercantum dalam APBD.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan kekurangan arus kas antara lain untuk menutup kekurangan pembayaran gaji pegawai.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “pelayanan publik” adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang dan jasa yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
- 20 -
Ayat (2)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud diteruskan kepada Badan Usaha Milik Daerah dapat berupa pinjaman, hibah, dan/atau penyertaan modal.
Pasal 72
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman menunjukan rasio kemampuan membayar kembali pinjaman yang dikenal dengan istilah Debt Service Coverage Ratio (DSCR) dihitung dengan formula sebagai berikut:
DSCR = Rasio Kemampuan Membayar Kembali Pinjaman Daerah yang bersangkutan;
PAD = Pendapatan Asli Daerah; DAU = Dana Alokasi Umum; DBH = Dana Bagi Hasil; DBHDR = Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi;
BP = Belanja Pegawai;
Pokok Pinjaman = Angsuran Pokok Pinjaman;
Bunga = Beban Bunga Pinjaman;
BL = Biaya Lain.
Yang termasuk biaya lain misalnya biaya administrasi, komitmen, provisi, asuransi, dan denda yang terkait dengan Pinjaman Daerah.
Besaran PAD, DAU, DBH, DBHDR, dan BW dihitung dari rata-rata realisasi per tahun selama 3 (tiga) tahun terakhir.
Pokok Pinjaman, Bunga, dan Biaya Lain merupakan Kewajiban Pinjaman.
PAD untuk provinsi dihitung setelah PAD tersebut dikurangi dengan dana bagi hasil kepada kabupaten/kota. PAD untuk kabupaten/kota dihitung setelah PAD tersebut ditambah dengan dana bagi hasil dari provinsi.
Huruf c
Cukup jelas.
- 21 -
Huruf d
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan persetujuan DPRD merupakan izin prinsip Pemerintah Daerah untuk melakukan pinjaman jangka panjang dan sebagai dasar pelaksanaan kegiatan yang didanai dari pinjaman. Persetujuan tersebut DPRD diberikan dalam bentuk keputusan DPRD.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan nilai bersih adalah tambahan atas nilai nominal Obligasi Daerah yang beredar. Tambahan nilai nominal ini merupakan selisih antara nilai nominal Obligasi Daerah yang diterbitkan dengan nilai nominal obligasi yang ditarik kembali dan dilunasi sebelum jatuh tempo dan obligasi yang dilunasi pada saat jatuh tempo selama satu tahun anggaran.
Huruf b
Persetujuan DPRD atas semua Obligasi Daerah yang diterbitkan secara otomatis merupakan persetujuan atas pembayaran dan pelunasan segala kewajiban keuangan di masa mendatang yang timbul dari penerbitan Obligasi Daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
- 22 -
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Ayat (1)
Huruf a
Dengan ketentuan ini, Pemerintah Daerah tidak dapat menerima hibah secara langsung dari pihak luar negeri.
Huruf b
Contoh:
Pembangunan sarana dan prasarana olah raga yang dimiliki Pemerintah Daerah atau akan dihibahkan kepada Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pekan olah raga berskala nasional atau internasional.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Ayat (1)
Pada dasarnya dana penanggulangan pascabencana berasal dari APBD, tetapi apabila APBD tidak mencukupi untuk menanggulangi bencana tersebut Pemerintah dapat
- 23 -
mengalokasikan Dana Darurat dalam APBN.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Ayat (1)
Yang dimaksud pelayanan dasar dalam ketentuan ini pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan, dan prasarana jalan dan jembatan, irigasi, drainase dan sanitasi.
Tidak termasuk dalam pengertian belanja modal dalam ketentuan ini yaitu pengadaan kendaraan dinas non operasional dan rumah dinas.
Ayat (2)
Belanja pegawai yang rasional adalah belanja pegawai yang telah memperhitungkan rasio yang ideal antara belanja pegawai dengan total belanja.
Pasal 95A
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 24 -
Ayat (4)
Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
- 25 -
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan defisit dalam ayat ini adalah pendapatan dikurangi belanja, tidak termasuk defisit yang dibiayai pinjaman yang bersumber dari Pemerintah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Ayat (1)
Penilaian kinerja keuangan Daerah dilakukan dengan menggunakan indikator, antara lain, kesehatan keuangan, SDM di bidang keuangan, dan pengelolaan keuangan Daerah serta kualitas perencanaan pembangunan Daerah.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Sebelum dilakukan penghapusan, Daerah diberikan kesempatan untuk memperbaiki kinerja keuangan Daerah terutama yang terkait dengan:
a. peningkatan upaya perpajakan/retribusi;
b. peningkatan kemampuan penyelesaian kewajiban keuangan;
c. peningkatan kemampuan SDM pengelola keuangan; dan
- 26 -
d. peningkatan kualitas pengelolaan keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Yang dimaksud dengan pejabat tertentu di bidang pengelolaan keuangan Daerah dalam ketentuan ini, antara lain, bendahara, penilai, akuntan pemerintah, internal auditor, dan penyidik pajak.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Dengan ketentuan ini Pemerintah Daerah tidak berhak memperoleh bagian laba/deviden apabila badan usaha mengalami kerugian.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Subsidi diberikan apabila perhitungan tarif rata-rata lebih kecil dari biaya produksi rata-rata.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kriteria eksternalitas dalam ketentuan ini adalah penyelenggara suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan.
Yang dimaksud dengan kriteria akuntabilitas dalam ketentuan ini adalah penanggungjawab penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan ditentukan
- 27 -
berdasarkan kedekatannya dengan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan.
Yang dimaksud dengan kriteria efisiensi dalam ketentuan ini adalah penyelenggara suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan SIKD adalah serangkaian perangkat dan prosedur yang berfungsi mengumpulkan, menyimpan, mengolah, dan menganalisis data keuangan
- 28 -
Daerah dan data terkait lainnya serta menyajikannya menjadi informasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan Pemerintah dalam hal ini adalah Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Dengan ketentuan ini, kabupaten/kota yang penerimaan PBB sektor Pedesaan dan Perkotaan tahun 2013 mencapai atau melampaui target tidak lagi memperoleh insentif PBB pada tahun 2014.
Pasal 144
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR …
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Berita Rantau - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger